
Presiden Soeharto (tengah) (Foto: Reuters)
JAKARTA – Presiden RI kedua Soeharto
berhasil menancapkan kekuasannya hampir 32 tahun lamanya. Selama itu
pemerintahan yang lebih dikenal dengan sebutan “Rezim Orde Baru”,
mencoba mengendalikan kekuasaannya dengan segala cara. Bahkan rezim ini
akhirnya disebut sebagai pemerintahan otoriter.
Karena berusaha mempertahankan kekuasaan membuat Soeharto melakukan tindakan kekerasan kepada mereka yang berseberangan dengan dirinya.
Hal itu bisa dilihat dari sejumlah Operasi Militer yang dilakukan di Aceh (1990-1999), Papua, dan Timor-Timur (1975-1998), kemudian munculnya penembak misterius (Petrus), serta sejumlah kekerasan lainnya.
“Ada macam-macam kekerasan sebelumnya, misalkan operasi militer yang ada di Aceh, Papua, dan di Timor Timur. Itu kan semua dengan kekerasan dan dia sendiri melakukan berbagai kekerasan,” kata sejarawan Anhar Gonggong saat berbincang dengan Okezone di Jakarta.
Tak sampai di situ, Anhar menceritakan kekerasan terus berlanjut saat para mahasiswa mengkritik secara terbuka sejumlah kebijakan Soeharto, yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Hal itu, mulai terjadi pada saat pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1971, lalu berlanjut di tahun 1974 yang dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), kemudian terus berlanjut sejak tahun 1984 hingga 1998.
“Lalu ada penculikan aktivis mahasiswa, dan itu semua adalah embrio dalam proses yang memicu tuntutan yang lebih besar ke tuntutan menurunkan Soeharto. Ini memang ada proses yang panjang sampai akhirnya, Soeharto mengatakan berhenti,” tuturnya.
Akhirnya, sambung Anhar, lantaran banyak peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto sendiri, membuat gelombang protes dari mahasiswa, pemuda dan rakyat terus membesar dan terus mendesak posisi Soeharto untuk menanggalkan jabatannya.
Situasi dan kondisi yang medesak itu, membuat Soeharto hanya dihadapkan kepada dua pilihan untuk dia putuskan. Diperparah, dengan tragedi (penembakan mahasiswa) Trisakti 12 Mei 1998, yang terus berlanjut menjadi kerusuhan massal pada 13-15 Mei 1998 dan kemudian pendudukan Gedung DPR/MPR.
“Itu kan ada demonstrasi, ada tuntutan. Lalu ada dua pilihan, bertahan dan berhenti. Mahasiswa sudah menguasai gedung DPR/MPR, jadi bagi Soeharto, pilihannya hanya dua, mau bertahan dengan melakukan penekanan lebih lanjut kepada massa, atau berhenti, dan dia akhirnya pilih untuk berhenti,” tandas Anhar.
Karena berusaha mempertahankan kekuasaan membuat Soeharto melakukan tindakan kekerasan kepada mereka yang berseberangan dengan dirinya.
Hal itu bisa dilihat dari sejumlah Operasi Militer yang dilakukan di Aceh (1990-1999), Papua, dan Timor-Timur (1975-1998), kemudian munculnya penembak misterius (Petrus), serta sejumlah kekerasan lainnya.
“Ada macam-macam kekerasan sebelumnya, misalkan operasi militer yang ada di Aceh, Papua, dan di Timor Timur. Itu kan semua dengan kekerasan dan dia sendiri melakukan berbagai kekerasan,” kata sejarawan Anhar Gonggong saat berbincang dengan Okezone di Jakarta.
Tak sampai di situ, Anhar menceritakan kekerasan terus berlanjut saat para mahasiswa mengkritik secara terbuka sejumlah kebijakan Soeharto, yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Hal itu, mulai terjadi pada saat pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1971, lalu berlanjut di tahun 1974 yang dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), kemudian terus berlanjut sejak tahun 1984 hingga 1998.
“Lalu ada penculikan aktivis mahasiswa, dan itu semua adalah embrio dalam proses yang memicu tuntutan yang lebih besar ke tuntutan menurunkan Soeharto. Ini memang ada proses yang panjang sampai akhirnya, Soeharto mengatakan berhenti,” tuturnya.
Akhirnya, sambung Anhar, lantaran banyak peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto sendiri, membuat gelombang protes dari mahasiswa, pemuda dan rakyat terus membesar dan terus mendesak posisi Soeharto untuk menanggalkan jabatannya.
Situasi dan kondisi yang medesak itu, membuat Soeharto hanya dihadapkan kepada dua pilihan untuk dia putuskan. Diperparah, dengan tragedi (penembakan mahasiswa) Trisakti 12 Mei 1998, yang terus berlanjut menjadi kerusuhan massal pada 13-15 Mei 1998 dan kemudian pendudukan Gedung DPR/MPR.
“Itu kan ada demonstrasi, ada tuntutan. Lalu ada dua pilihan, bertahan dan berhenti. Mahasiswa sudah menguasai gedung DPR/MPR, jadi bagi Soeharto, pilihannya hanya dua, mau bertahan dengan melakukan penekanan lebih lanjut kepada massa, atau berhenti, dan dia akhirnya pilih untuk berhenti,” tandas Anhar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar