1. Peristiwa G-30-S/PKI
Gerakan 30 September
atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September
Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi
selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam
perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam
suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai
Komunis Indonesia.
a.
Latar Belakang Munculnya G-30S/PKI
PKI merupakan partai
komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet.
Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta
anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta
anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan
pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959
parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden
- sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang
penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI
menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan
bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis,
Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era
"Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan
korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Pada kunjungan Menlu
Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk
senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan
ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965
Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC,
mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI.
Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan
nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963,
kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan
antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama"
polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan
"Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit
menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian"
kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan
permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas
hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan
para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan
tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas
setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat
dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965,
para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika
Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga
menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena
jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini
dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
b.
Terjadinya Peristiwa G-30-S/PKI
Menteri-menteri PKI
tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan
ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara
tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap
hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia,
termasuk para komunis".
Rezim Sukarno
mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI
mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer,
menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam
angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan
ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha
untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas
hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam
laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Menjelang terjadinya
peristiwa ini, tersiar kabar bahwa kesehatan Bung Karno mulai menurun dari
diagnosis team dokter dari RRC. Mendengar kabar ini, DN Aidit selaku Ketua
Commite Centre PKI segera mengambil keputusan untuk segera memulai gerakan.
Strategi gerakan diserahkan kepada Kamaruzaman atau Sjam, yang diangkat sebagai
ketua Biro khusus PKI. . Biro khusus ini kemudian menghubungi kader mereka di
kalangan Militer, seperti brigjen Suparjo, Letkol Untung dari Tjakrabirawa
(Pasukan kawal presiden), Kol. Sunanrdi dari AL, Marsekal Madya Omar Dhani dari
AU. Dan Kol. Anwar dari POLRI.
Menjelang pelaksanaan
G30S, pucuk pimpinan PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia,
pimpinan PKI kemudian mengambil keputusan bahwa Pimpinan fisik G30S adalah
Letkol Untung Syamsari. Danyon I Men Tjakrabirawa. Sebagai Komando gerakan,
Untung memerintahkan kepada seluruh anggota untuk siap bergerak pada dini hari
tanggal 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu pasukan ini mengambil tindakan
dengan menculik dan membunuh 6 Pati dan 1 Pewira pertama. Para Perwira AD ini
disiksa dan selanjutnya dibunuh. Mereka dibawa Ke Lobang Buaya, yaitu sebuah
tempat di sebelah selatan Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah . Selanjutnya
para Korban dimasukkan kedalam 1 sumur buta, kemudian ditimbun dengan sampah
dan tanah. Ketujuh Korban dari TNI AD ini, yakni:
Letjen Ahmad Yani, Menpangad;
Mayjen R. Soeprapto, Deputy II Pangad;
Mayjen Suwondo Parman, Ass. I pangad;
Mayjen Haryono mas Tirtodarmo, SDeputy III Pangad;
Brigjen Donal Izacus Panjaitan, Ass. IV pangad;
Brigjen Soetojo Siswomiharjo, Insektur Kehakiman / Oditur Militer;
Lettu Pierre Andreas Tendean, Ajudan Jenderal A.H. Nasution.
Ketika terjadi penculikan itu, Jenderal
A.H. nasution yang juga menjadi target penculikan, berhasil meloloskan diri,
namum kakinua tertembak dan Putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi
korban penembakan Pemulik. Ajudan Nasution, yang bernama Tendean juga jadi
korban, karena dikira dia adalah AH. Nasution. Korban lainnya adalah Pembantu
Letnan polisi Karel Sasuit Tubun yang mencoba memberikan perlawanan kepada
penculik, KS Tubun pun dibunuh oleh Penculik..
Pada Waktu bersamaan,
G30S/PKI mencoba juga mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, solo,
wonogiri dan Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut mengumumkan berdirinya
Dewan Revolusi melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965, pengumuman ini
dibacakan langsung oleh Letkol Untung sebagai pimpinan fisik Gerakan.
Sementara itu Dewan
Revolusi di daerah Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Mereka menculik Kol.
Katamso dan Letkol soegiono. Kedua perwira AD ini dibunuh oleh gerombolan
penculik di desa Kentungan yang terletak sebelah utara Yogyakarta.
2. beberapa konflik
internal yang terjadi di Indonesia
Setelah merdeka bangsa
imdonesia diuji kemampuannya untuk menghadapi berbagai gangguan dan hambatan
yang berasal dari dalam negri. Timbulna pergolakan social politik internal ini
menghambat upaya mengisi kemerdekaan dengan kegiatan yang dapat memakmurkan
rakyatdan mewujudkan ketentraman serta kedamaian Indonesia.konflik internal
yang menimbulkan pergolakan dibeberpa daerah, yaitu :
a.
Pembrontakan APRA di Bandung
Pembeontakan Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA) tanggal 23 Januari 1950.Pada bulan Januari 1950 di Jawa
Barat di kalangan KNIL timbul Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin
oleh Kapten Westerling. Tujuan APRA adalah mempertahankan bentuk Negara Federal
Pasundan di Indonesia dan mempertahankan adanya tentara sendiri pada setiap
negara bagian Republik Indonesia Serikat. APRA mengajukan ultimatum menuntut
supaya APRA diakui sebagai Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya
Pasundan/negara Federal tersebut. Ultimatum ini tidak ditanggapi oleh
pemerintah, maka pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung APRA melancarkan
teror, APRA berhasil ditumpas. Ternyata dalang gerakan APRA ini berada di
Jakarta, yakni Sultan Hamid II. Rencana gerakannya di Jakarta ialah menangkap
beberapa menteri Republik Indonesia Serikat yang sedang menghadiri sidang
kabinet dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
Sekertaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepada
Staf Angkatan Perang Kolonel T.B Simatupang. Rencana tersebut berhasil
diketahui dan diambil tindakan preventif, sehingga sidang kabinet ditunda.
Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950. Akan tetapi,
Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri. Peristiwa Kudeta Angkatan
Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23
Januari 1950 dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada
di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan
komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung
dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini
telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah
diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada bulan November
1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah
mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang.
Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember
1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu
Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang
dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah
mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia
juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang
dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam,
sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden,
Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan
kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya.
Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok
militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah
mendengar mengenai kelompoknya Westerling.
Jenderal van Vreeden,
sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak
melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan
penangkapan Westerling.
b.
Pembrontakan Andi Aziz di Makassar
Andi Azis lahir dari keluarga keturunan Bugis
di Sulawesi Selatan. Pada awal tahun 1930-an Andi Azis kemudian dibawa seorang
pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda ke Belanda. Pada tahun 1935 ia
memasuki Leger School dan tamat tahun 1938 lalu meneruskan ke Lyceum sampai
tahun 1944. Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah
militer di negeri Belanda untuk menjadi seorang prajurit tetapi niat itu tidak
terlaksana karena pecah Perang Dunia II. Kemudian Andi Azis memasuki Koninklijk
Leger dan bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah melawan Tentara
Pendudukan Jerman (Nazi). Dari pasukan bawah tanah kemudian.
Andi Azis dipindahkan
kebelakang garis pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari
dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu semakin terjepit, maka secara diam-diam
Andi Azis dengan kelompoknya menyeberang ke Inggris, daerah paling aman dari
Jerman — walaupun sebelum 1944 sering mendapat kiriman bom Jerman dari udara.
Pada tanggal 19
Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta), waktu itu ia menjabat
komandan regu, kemudian bertugas di Cilinding. Pada tahun 1947 mendapat
kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Setelah itu
ia kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo,
pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat Letnan Dua.
Selanjutnya ia menjadi
Ajudan Senior, Sukowati (Presiden NIT). Jabatan ini dijalaninya hampir satu
setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah seorang instruktur di
Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan payung milik KNIL bernama
School tot Opleiding voor Parachusten—(Baret Merah KNIL) dalam tahun 1948. Pada
tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan
kompi dengan pangkat Letnan Satu dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang
berpengalaman dan kemudian masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian ia
dinaikan pangkatnya menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak
mengalami perubahan anggotanya.
Pasukan dari kompi
yang dipimpinnya itu bukan pasukan sembarangan karena Kemampuan tempur pasukan
itu diatas standar pasukan reguler Belanda dan juga TNI. Pada saat itu daerah
Cimahi adalah daerah dimana banyak prajurit Belanda dilatih untuk persiapan
agresi militer Belanda II. Ditempat ini setidaknya ada dua macam pasukan khusus
Belanda dilatih: pasukan Komando (baret hijau); pasukan penerjun (baret merah).
Andi Azis kemungkinan melatih pasukan komando—sesuai pengalamannnya di front
Eropa.
Pasukan Andi Azis ini
akhirnya menjadi salah satu punggung pasukan pemberontak APRIS selama bulan
April sampai Agustus di Makassar — disamping pasukan Belanda lain yang desersi
dan tidak terkendali. Seperti yang terjadi dalam pemberontakan APRA Westerling
yang terlalu mengandalkan pasukan khusus Belanda Regiment Speciale Troepen — yang
pernah dilatih Westerling — maka dalam pemberontakan Andi Azis hampir semua
unsur pasukan Belanda terlibat terutama KNIL non pasukan komando.
Dari hasil pemeriksaan
Aziz dalam sidang militer yang digelar tiga tahun kemudian (1953), saksi mantan
Presiden NIT Sukawati dan Let.Kol Mokoginta tidak banyak meringankan terdakwa
yang pada ahirnya dihukum penjara selama 14 tahun. Dalam persidangan tersebut
terdakwa mengaku bersalah, tidak akan naik appel tapi merencanakan minta grasi
kepada Presiden.
c.
Pembrontakan RMS di Maluku
Pemberontakan ini
terjadi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 yang dilakukan oleh orang-orang
Indonesia bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang pro
Belanda. Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Dr.
Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur.
Untuk menumpas
pemberontakan RMS, pemerintah semula mencoba menyelesaikan secara damai dengan
mengirimkan suatu misi yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Akan tetapi upaya ini
tidak berhasil. Oleh karena itu pemerintah segera mengirimkan pasukan ekspedisi
di bawah pimpinan Kolonel AE. Kawilarang. Pada tanggal 25 September 1950
seluruh Ambon dan sekitarnya dapat dikuasai oleh pasukan pemerintah. Dalam
pertempuran melawan pemberontak RMS ini gugurlah seorang pahlawan ketika
memperebutkan benteng Nieuw Victoria, yakni Letnan Kolonel Slamet Riyadi.
Tokoh-tokoh lain dari
APRIS (TNI) yang gugur adalah Letnan Kolonel S. Sudiarso dan Mayor Abdullah.
Setelah kota Ambon
jatuh ke tangan pemerintah maka sisa- sisa pasukan RMS melarikan diri ke
hutan-hutan dan untuk beberapa tahun lamanya melakukan pengacauan.
Pemerintah RMS yang pertama di bawah
pimpinan dari J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku dalam Negara Indonesia Timur
(NIT).
Setelah Mr. dr. Chris
Soumokil (Mantan Jaksa Agung NIT yang merupakan underdog Belanda) dibunuh
secara ilegal atas perintah Pemerintah Indonesia, maka dibentuk Pemerintah
dalam pengasingan di Belanda di bawah pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama],
pemimpin kedua [drs. Frans Tutuhatunewa] turun pada tanggal 24 april 2009. Kini
mr. John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Tagal serangan dan
aneksasi ilegal oleh tentara RI, maka Pemerintah RMS, di antaranya, Mr. Dr.
Soumokil, terpaksa mundur ke Pulau Seram dan memimpin guerilla di pedalaman
Nusa Ina (pulau Seram). Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi
hukuman mati oleh pengadilan militer, dan d Republik Maluku Selatan (RMS)
adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud
untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih
berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap
sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas
pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan terror di
pengasingan, Belanda.ilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April
1966.
Pada bulan September
2011, Jendral Kivlan Zen purn. mengaku dalam wawancara dengan Global Post bahwa
Kerusuhan Ambon sebenarnya rekayasa dari para elit RMS dan Pendukung RMS di
Belanda. Mereka membuat skenario yang seolah-olah TNI dan Pemerintah Republik
Indonesia telah melakukan destabilisasi Maluku secara politik dan ekonomis.
Dalam skenario ini dibuat seolah-olah RMS dipersalahkan dengan sengaja dan
dikambinghitamkan. Mereka memakai kalimat-kalimat seperti:
"Pada saat Kerusuhan Ambon yang
terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk
menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan
mengatas-namakan rakyat Maluku.
Pada tanggal 29 Juni
2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara
Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai gubernur
Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari
upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan
saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah
aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luar arena
para penari itu ditangkapi, tetapi tidak pernah disiksa dan dianiaya.
d.
Pembrontakan PRRI di Sumatra
Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah
satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
(Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya
ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein
di Padang, Sumatera Barat, Indonesia.
Dan kemudian gerakan
ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana
pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.
Konflik yang terjadi
ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang
lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan
pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi
dijalankan.[2] Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih
belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah
pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan,
terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Dan sebelumnya
bibit-bibit konflik tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50
tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah
waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau,
dan Jambi sekarang.[3]
Namun apa yang menjadi
pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakan[1] oleh pemerintah
pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan
dan kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan militer terbesar yang
pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia.
Kabinet PRRI terdiri dari:
Mr.
Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,
Mr. Assaat
Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya
sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
Maluddin Simbolon sebagai Menteri Luar
Negeri,
Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
Muhammad
Sjafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
J.F. Warouw
sebagai Menteri Pembangunan,
Saladin
Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
Muchtar
Lintang sebagai Menteri Agama,
Saleh Lahade
sebagai Menteri Penerangan,
Ayah Gani
Usman sebagai Menteri Sosial,
Dahlan
Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di
Padang.
Pengaruh dari
peristiwa ini juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau
ke daerah lain serta kemudian menimbulkan efek psikologis yang besar pada
sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma
pemberontak, padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan
yang gigih menentang kolonialis serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak
melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis masa pra kemerdekaan. Selain beberapa
tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri,
harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah
serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI
tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.
e.
Pembrontakan Permesta di Sulawesi
Perdjuangan Semesta
atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta adalah sebuah gerakan
militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan
militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 yaitu oleh Letkol Ventje Sumual.
Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu
kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini.
Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun
kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul
kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan
senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan
pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa
mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang
sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian
Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi
mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur.
Pemerintah pusat
Republik Indonesia yang dideklarasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1945 kemudian
menggunakan operasi-operasi militer untuk menghentikan gerakan-gerakan
pemberontakan yang mengarah kepada kemerdekaan.
Pada tanggal 2 Maret
1957 di Makassar,Letkol.Ventje Sumual memproklamirkan berdirinya Piagam
Perjuangan Semesta.Gerakan meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur
serta mendapat dukungan dari tokoh-tokoh Indonesia Timur. Ketika itu keadaan
Indonesia sangat bahaya dan hampir seluruh pemerintahan di daerah diambil oleh
militer. Selain itu mereka juga membekukan segala Aktivitas PKI(Partai Komunis
Indonesia), serta menangkap kader-kader PKI. Keadaan semakin genting tatkala
diadakan rapat di gedung Universitas Permesta yang membicarakan pemutusan
hubungan dengan pemerintah pusat. Pada pukul 07.00 diadakan pertemuan di ruang
rapat gedung Universitas Permesta di Sario Manado dengan tokoh tokoh politik,
masyarakat dan cendikiawan. Saat itu Kapten Wim Najoan, Panglima Komando Daerah
Militer Sulawesi Utara dan Tengah, memberikan gambaran tentang perkembangan di
Sumatera dan putusan agar dibentuknya PRRI. Selanjutnya ia memberikan sebuah
pernyataan "Permesta di Sulutteng menyatakan solider dan sepenuhnya
mendukung pernyataan PRRI. Oleh sebab itu, mulai saat ini juga Permesta
memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI Kabinet Djuanda." Seketika pula
para peserta rapat berdiri dan menyambutnya dengan pekik: "Hidup PRRI!
Hidup Permesta! Hidup Somba!" Setelah itu rapat diskors 30 menit untuk
menyusun teks pemutusan hubungan dengan pusat oleh 3 orang Mayor Eddy Gagola,
Kapten Wim Najoan dan kawan-kawan. Setelah selesai menyusun teks pemutusan hubungan
degan Pemerintah Pusat rapat dilanjutkan dan teks tersebut dibacakan kepada
para hadirin. Respons perta rapat sangat antusias, dengan ramai mereka
mendengungkan pekik "Hidup Permesta! Hidup PRRI! Hidup
Somba-Sumual!" Setelah itu Mayor Dolf Runturambi
bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara saudara setuju?"
Serentak dijawab: "Setuju! Setuju!" Kembali suasana yang sangat ramai
dari para hadirin. Setelah rapat tersebut, Kolonel D. J. Somba selaku pimpinan
Kodam Sulawesi Utara dan Tengah mengadakan rapat di lapangan sario Manado. Ia
membacakan teks pemutusan hubungan dangan Pemerintah Pusat yang isinya:
"RAKYAT SULAWESI UTARA DAN TENGAH TERMASUK MILITER
SOLIDER PADA KEPUTUSAN PRRI DAN MEMUTUSKAN HUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH RI"
Hari itu juga
Pemerintah Pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat atas Letkol
H.N. Ventje Sumual, Mayor D.J. Somba, dan kawan kawannya, dari Angkatan Darat.
Saat itu pula para pelajar, mahasiswa, pemuda dan ex-KNIL mendaftarkan diri
untuk menjadi Pasukan dalam Angkatan Perang Permesta. Bagi mereka yang telah
mendatar langsung di beri latihan di Mapanget. dalam hal ini pula keterlibatan
Amerika Serikat benar benar terlihat,dengan mendatangkan penasehat penasehat
militernya.serta memberikan sejumlah bantuan berupa Amunisi, mitraliur anti
pesawat terbang selain itu untuk memperkuat Angkatan Perang Revolusioner
(AUREV). mereka juga mendatangkan sejumlah pesawat terbang antara lain pesawat
pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu P-51 Mustang, Beachcraft, Consolidated
PBY Catalina dan pembom B-26 Invader. di sisi lain juga Permesta membentuk
suatu badan dan satua kepolisian yaitu 1.Polisi Revolusioner 2.Pasukan Wanita
Permesta(PWP) 3.Permesta Yard yaitu sebuah badan intelejen.
Selain dari Amerika
Serikat Permesta juga mendapat bantuan dan dukungan dari Negara Negara pro
Barat seperti Taiwan, Korea Selatan, Philipina serta Jepang. dan dengan
dukungan yang begitu besar sehingga Permesta tidak pernah kehabisan perbekalan
ketika bertempur Sejumlah besar anggota Komando Pemuda Permesta wilayah
Sulawesi Utara dan Tengah dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota
pasukan Permesta Komando Pemuda Permesta. Sebelumnya tugas Mereka, adalah untuk
membantu pemerintah daerah guna mengerahkan tenaga dan dana untuk melancarkan
pembangunan di daerah daerah. Pergolakan inipun terus berlanjut dan semakin
menuju terjadinya Perang Saudara. ketika itu Republik Indonesia yang baru
berdiri kurang lebih 10 tahun setelah pengakuan kedaulatan benar benar di ujung
tanduk. keutuhan Negara Republik Indonesia sangat membahayakan apalagi saat itu
di daerah lainnya juga muncul pemberontakan pemberontakan terhadap Pemerintah
RI yaitu 1. PRRI (Pemerintahan Revolusioner Indonesia) 2. DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) 3. Republik Maluku Selatan
Selain itu juga di
dalam tubuh pemerintahan RI banyak terjadi pergolakan politik.terutama dengan
silih bergantinya Kabinet,seiring dengan penerapan Demokrasi Liberal. di sisi
lain hubungan Dwi-Tunggal Soekarno dan juga Hatta mengalami keretakan.ini
terjadi akibat dari kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia yang
selalu memusuhi Hatta. akhirnya dengan berat hati memundurkan diri dari jabatan
sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia di kala suasana Negara yang kritis.
Akibat pemutusan hubungan Permesta dengan Pusat Kota Manado Menjadi sangat
mencekam.Kegelisahan meghantui setiap penjuru Manado. Warga seakan tak bisa
tenang untuk sesaatpun karena khawatir akan adanya serangan dari Pemerintah
Pusat yang diperkirakan tak lama lagi bakal datang menyerbu daerah yang
dikuasai Permesta. Banyak Masyarakat manado yang mengungsi ke luar Kota untuk
menghindari Perang Saudara yang nampaknya akan menjadi sebuah kenyataan, Di
lain pihak juga dukungan terhadap Permesta semakin besar. Dengan,masuknya
Kolonel Alexander Evert Kawilarang setelah berhenti sebagai Atase Militer RI
pada Kedubes RI di Washington, DC, Amerika Serikat], kemudian ia berhenti dari
dinas militer, dengan Pangkat Brigadir Jenderal. Selanjutnya pulang ke Sulawesi
Utara untuk bergabung dengan Permesta. disana ia mendapat jabatan sebagai
Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI dan Kepala Staf Angkatan
Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat Mayor jenderal.dan
selanjutnya ia menjadi Panglima Besar Permesta. Presiden Taiwan Chiang Kai Shek
pernah merencanakan untuk mengirimkan 1 resimen marinir dan 1 skuadron pesawat
tempur untuk merebut Morotai bersama sama dengan Permesta, namun Menteri Luar
Negeri Taiwan Yen Kung Chau menentang gagasan itu.karena khawatir Republik
Rakyat Cina akan ikut serta membantu Pemerintah Pusat di Jakarta dan mungkin
akan memiliki alasan untuk mengintervensi. terhadap Taiwan. walaupun demikian.
Taiwan sebelumnya memang sudah membantu Permesta dengan mengirimkan
persenjataan dan dua squadron pesawat tempur ke Minahasa untuk Angkatan Udara
Revolusioner Bantuan Taiwan akhirnya tercium oleh Pemerintah Pusat. Bulan
Agustus 1958, militer mengambil alih bisnis yang dipegang oleh penduduk WNI
asal Taiwan. dan sejumlah Surat Kabar, Sekolah ditertibkan.
Pada tahun 1960 Pihak
Permesta Menyatakan kesediaanya, untuk berunding dengan Pemerintah Pusat.
Perundingan pun dilangsungkan Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan
Perang Permesta, Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang. serta Pemerintah Pusat
diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal A.H. Nasution. dari
perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu: bahwa pasukan Permesta
akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa.
Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961. memberi Amnesti dan
Abolisi Bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta. tapi bukan untuk itu
saja bagi anggota DI/TII baik, di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimntan
Selatan dan Sulawesi Selatan Juga berhak Menerimanya. Sesudah keluar keputusan
itu, be ramai-ramai banyak anggota Permesta yang keluar dari hutan-hutan Untuk
mendapatkan Amnesti dan Abolisi. Seperti Kolonel D.J. Somba, Mayor Jenderal
A.E. Kawilarang, Kolonel Dolf Runturambi, Kolonel Petit Muharto Kartodirdjo,
dan Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi kelompok paling akhir yang
keluar dari hutan hutan. untuk mendapatkan Amnesti dan Abolisi. dan pada tahun
itu pula permesta dinyatakan bubar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar