Judul: Rakyat Kecil, Islam dan Politik
Penulis: Martin van Bruinessen
Penerbit: Gading,
Yogyakarta, 2013
Tebal: xvii + 482 Halaman
Kemiskinan di wilayah urban telah lama menjadi
masalah, sebab dari sinilah persoalan-persoalan yang lebih luas meluber.
Kriminalitas, pengangguran, hingga konflik sosial adalah sebagian dari daftar
panjang luberan masalah tersebut.
Martin van Bruinssen, peneliti asal Belanda, secara
cermat mencatat masalah tersebut dalam sebuah penelitian. Penelitian tersebut dilakukan
di sebuah kawasan kumuh di kota Bandung pada pertengahan tahun 1980-1990-an.
Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa kemiskinan
di wilayah tersebut disebabkan oleh
sejumlah faktor. Faktor tersebut antara lain adalah kedatangan ataupun
perpindahan penduduk ke wilayah tersebut.
Perpindahan tersebut diikuti dengan sempitnya
lapangan pekerjaan. Alhasil, penduduk terpaksa
menjalankan pekerjaan informal seperti membuka warung, berdagang makanan kecil,
atau bekerja sebagai buruh rumahan dengan mengupas bawang.
Sayangnya usaha semacam itu selalu diikuti oleh
penduduk lainnya. Persaingan
tidak dapat dihindari. Persaiangan yang tinggi membuat usaha tersebut tidak dapat bertahan lama.
Mereka pun kembali bangkrut dan harus bersusah payah membangun usaha lain.
Padahal untuk itu mereka harus menyiapkan modal yang banyak.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa rendahnya kreativitas
dan kurangnya kemampuan inovasi membuat kompetisi sulit diatasi dengan
baik. Ada penduduk yang mencoba
bertahan, ada juga yang menyerah begitu saja. Mereka yang bertahan harus
menjalaninya dengan berat.
Namun kemudian Bruinessen mempertanyakan posisi
lembaga keagamaan. Dalam hal ini ia
menyandingkan posisi lembaga keagamaan dengan fenomena kemiskinan itu sendiri.
Baginya, segala dinamikan lembaga keagamaan yang terjadi di Indonesia belum
dapat menyentuh persoalan mendasar masyarakat, yakni kemiskinan.
Hal yang terjadi, banyak lembaga keagamaan yang
justru terlalu sibuk dengan urusan kekuasaan dan politik. Buku ini
memperlihatkan bagaimana NU (Nahdlatul
Ulama) yang semula merupakan lembaga keagamaan, mengubah dirinya menjadi
lembaga politik yang kemudian terbukti banyak memberikan ruang yang
menguntungkan bagi anggotanya (Hal. 138).
Namun kemudian ada dorongan internal agar NU untuk
menarik diri dari kegiatan politik. Dorongan ini dipicu oleh kenyataan bahwa
organisasi tersebut semakin kurang memberikan perhatian kepada dakwah dan
pembinaan umat. Hasilnya, pada tahun 1983, NU kembali ke Khittah 1926 (hal. 1943).
Hal menarik lain yang disinggung dalam buku oleh
Bruinessen adalah dinamika lembaga maupun kelompok-kelompok Islam yang ada dalam
masyarakat. Tampaknya memang tak mudah
melepaskan Islam dari hiruk pikuk masalah sosial dan politik. Islam selalu
menjadi elemen penting di dalamnya.
Pada analisa Bruinessen, itu alasannya mengapa rezim
berkuasa selalu melibatkan lembaga-lembaga Isalam untuk berbaga proyek ataupun
programnya. Bagi pemerintah Islam bukan sekadar agama yang dianut oleh
mayoritas penduduk Indonesia, melainkan juga potensi untuk melakukan sebuah gerakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar