Oleh : SS-Hauptsturmführer Ajisaka Lingga Bagaskara
Masa pendudukan Jepang merupakan periode yang penting dalam
sejarah bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia ditujukan untuk
mewujudkan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Untuk mewujudkan cita-cita
itu, Jepang menyerbu pangkalan Angkatan Laut di Pearl Harbour, Hawai. Peristiwa
itu terjadi pada tanggal 7 Desember 1941. Gerakan invasi militer Jepang cepat
merambah ke kawasan Asia Tenggara. Pada bulan Januari-Februari 1942, Jepang
menduduki Filipina, Tarakan (Kalimantan Timur), Balikpapan, Pontianak, dan
Samarinda. Pada bulan Februari 1942 Jepang berhasil menguasai Palembang. Untuk
menghadapi Jepang, Sekutu membentuk Komando gabungan. Komando itu bernama
ABDACOM (American British Dutch Australian Command). ABDACOM dipimpin oleh
Jenderal Sir Archibald Wavell dan berpusat di Bandung. Pada tanggal 1 Maret
1942 Jepang berhasil mendarat di Jawa yaitu Teluk Banten, di Eretan (Jawa
Barat), dan di Kragan (Jawa Timur). Pada tanggal 5 Maret 1942 kota Batavia
jatuh ke tangan Jepang. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda secara resmi
menyerah kepada Jepang.
Upacara penyerahan kekuasaan dilakukan pada tanggal 8 Maret
1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Dalam upacara tersebut Sekutu diwakili
oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Jenderal Ter Poorten, sedang
Jepang diwakili oleh Jenderal Hitoshi Imamura. Dengan penyerahan itu secara
otomatis Indonesia mulai dijajah oleh Jepang.Kebijakan Jepang terhadap rakyat
Indonesia pada prinsipnya diprioritaskan pada dua hal, yaitu:
1. Menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
2. Memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
1. Menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
2. Memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
A.
INTERAKSI BANGSA INDONESIA DENGAN JEPANG PADA MASA KOLONIAL BELANDA
Jauh
hari, sebelum berlangsungnya Perang Dunia II, telah terjadi hubungan antara
tokoh-tokoh nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang, antara lain Gatot Mangkupraja dan Moh. Hatta. Sesudah kunjungannya ke
Jepang pada akhir tahun 1933, Gatot Mangkupraja berkeyakinan bahwa Jepang
dengan gerakan Pan-Asia mendukung pergerakkan nasional Indonesia.
Moh.
Hatta adalah tokoh yang memegang teguh paham nasionalisme. Meskipun beliau
secara tegas menolak imperialism Jepang, tetapi beliau tidak mengecam
perjuangan Jepang dalam melawan ekspansi Negara-negara Barat. Moh. Hatta
bersedia bekerja sama dengan Jepang karena beliau berkeyakinan pada ketulusan
Jepang dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.
Faktor
lain yang menyebabkan timbulnya simpati rakyat Indonesia kepada Jepang adalah sikap
keras pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir kekuasaannya. Pada tahun 1938,
pemerintah colonial menolak Petisi
Sutardjo yang meminta pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia dalam
lingkungkan kekuasaan Belanda sesudah 10 tahun. Setahun kemudian, Belanda pun
menolak usulan dari Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang dirumuskan dalam
slogan Indonesia Berparlemen.
Penolakan-penolakan tersebut menimbulkan keyakinan kaum pergerakan nasional
Indonesia bahwa pihak Belanda tidak akan memberikan kemerdekaan. Di lain pihak,
Jepang sejak awal sudah mengumandangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia,
termasuk Indonesia.
B.
KEBIJAKAN PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG
Pada
8 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten menyerah tanpa syarat kepada
pimpinan tentara Jepang Letnan Jenderal
Hitoshi Imamura. Hal itu menandai berakhirnya masa pemerintahan Hindia
Belanda di Indonesia dan digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang.
1.
SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN
I.)
Sistem Pemerintahan Militer
Berbeda
dengan zaman Hindia Belanda yang hanya terdapat satu pemerintahan sipil, pada
zaman pendudukan Jepang terdapat tiga pemerintahan militer penduudukan sebagai
berikut.
a.)
Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-25) untuk Sumatera, dengan
pusatnya di Bukittinggi.
b.)
Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-16) untuk Jawa dan Madura,
dengan pusatnya di Jakarta.
c.)
Pemerintahan Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Ke-2) untuk Sulawesi,
Kalimantan, dan Maluku, dengan pusatnya di Makassar.
Panglima
Tentara Ke-16 di Pulau Jawa ialah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Kepala
Stafnya ialah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Mereka mendapat tugas membentuk
suatu pemerintahan militer di Jawa dan kemudian diangkat sebagai Gunseikan (kepala pemerintahan militer).
Staf pemerintahan militer pusat disebut Gunseikanbu,
yang terdiri dari atas 5 macam departemen (bu),
yaitu sebagai berikut.
a.)
Departemen Urusan Umum (Sumobu),
b.)
Departemen Keuangan (Zaimubu),
c.)
Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu),
d.)
Departemen Lalu Lintas (Kotsubu),
e.)
Departemen Kehakiman (Shihobu).
Pada
bulan Agustus 1942, pemerintahan militer Jepang meningkatkan penataan
pemerintahan. Hal ini tampak dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 tentang
aturan pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 tentang aturan pemerintahan
syú dan tókubetsu syi. Kedua undang-undang tersebut menunjukkan dimulainya
pemerintahan sipil Jepang di Pulau Jawa.
Menurut
Undang-Undang No. 27, seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali kõci (daerah istimewa) Surakarta dan
Yogyakarta, dibagi atas tingkatan berikut.
a.)
Karesidenan (syú) dipimpin oleh
seorang syucõ.
b.)
Kotapraja (syi) dipimpin oleh seorang
syicõ.
c.)
Kabupaten (ken) dipimpin oleh seorang
kencõ.
d.)
Kawedanan atau Distrik (gun) dipimpin
oleh seorang guncõ.
e.)
Kecamatan (son) dipimpin oleh seorang
soncõ.
f.)
Kelurahan atau Desa (ku) dipimpin oleh
seorang kucõ.
Meningkatnya
Perang Pasifik semakin melemahkan Angkatan Perang Jepang. Guna menahanan
serangan Sekutu yang semakin hebat, Jepang mengubah sikapnya terhadap
negeri-negeri jajahannya. Di depan Sidang Istimewa ke-82 Parlemen di Tokyo pada
tanggal 16 Juni 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo mengeluarkan kebijakan
memberikan kesempatan kepada orang Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam
pemerintahan negara. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1943 dikeluarkan
pengumuman Saikō Shikikan (Panglima
Tertinggi) tentang garis-garis besar rencana mengikutsertakan orang-orang
Indonesia dalam pemerintahan.
Pengikutsertaan
bangsa Indonesia dimulai dengan pengangkatan Prof. Dr. Husein Djajadiningrat
sebagai Kepala Departemen Urusan Agama pada tanggal 1 Oktober 1943. Kemudian
pada tanggal 10 November 1943, Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A Suryo
masing-masing diangkat menjadi syúcokan
di Jakarta dan Bojonegoro. Pengangkatan tujuh penasihat (sanyō) bangsa Indonesia dilakukan pada pertengahan bulan September
1943, yaitu sebagai berikut.
a.)
Ir. Soekarno untuk Departemen Urusan Umum (Somubu).
b.)
Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid untuk Biro Pendidikan dan Kebudayaan dan
Departemen Dalam Negeri (Naimubu-bunkyōku).
c.)
Prof. Dr. Mr. Supomo untuk Departemen Kehakiman (Shihōbu).
d.)
Mochtar bin Prabu Mangkunegoro untuk Departemen Lalu Lintas (Kotsubu).
e.)
Mr. Muh Yamin untuk Departemen Propaganda (Sendenbu).
f.)
Prawoto Sumodilogo untuk Departemen Perekonomian (Sangyobu).
Pemerintah
pendudukan Jepang kemudian membentuk Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In). Badan hal ini bertugas
mengajukan usulan kepada pemerintah serta menjawab pertanyaan pemerintah
mengenai masalah-masalah politik dan memberi saran tindakan-tindakan yang perlu
dilakukan oleh pemerintah militer Jepang di Indonesia.
II.)
Pembentukan Organisasi-Organisasi Semi Militer
Guna
memperkuat barisan pertahanan dan membantu kekuatan militer, Jepang
mengeluarkan kebijakan untuk membentuk organisasi-organisasi semi militer yang
mengikutsertakan rakyat Indonesia, antara lain sebagai berikut.
a.
Seinendan
Pada
tanggal 29 April 1943, tepat pada hari ulang tahun Kaisar Jepang Hirohito,
diumumkan secara resmi pembentukan dua organisasi pemuda, yaitu seinendan dan keibodan. Keanggotaan seinendan
terbuka bagi pemuda-pemuda Asia yang berusia antara 15-25 tahun, yang kemudian
diubah menjadi batasan usia 14-22 tahun, karena suatu kebutuhan yang mendesak. Tujuan
didirikannya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat
menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan menggunakan tangan dan
kekuatannya sendiri. Tetapi, maksud terselubung diadakannya pendidikan dan
pelatihannya ini adalah guna mempersiapkan pasukan cadangan untuk kepentingan
Jepang di Perang Asia Timur Raya.
b.
Keibodan
Keibodan
merupakan barisan pembantu polisi Jepang dengan tugas-tugas kepolisian, seperti
penjagaan lalu lintas dan pengaman di desa-desa. Anggotanya ialah pemuda-pemuda
yang berusia antara 20-35 tahun, yang kemudian diubah menjadi antara 26-35 tahun.
Untuk kalangan etnis Cina juga dibentuk semacam Keibodan, yang disebut Kakyo
Keibotai.
Pada
bulan April 1943 dikeluarkan pengumuman mengenai pembukaan kesempatan kepada
para pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang (Heiho). Pemuda yang ingin menjadi
anggota Heiho harus memenuhi
syarat-syarat kecakapan umum, seperti berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur
antara 18-25 tahun, dan berpendidikan serendah-rendahnya adalah Sekolah Rakyat
(Sekolah Dasar).
PETA
dibentuk atas prakarsa Gatot Mangkupraja
dan disahkan melalui Osamu Seirei No.
44 tanggal 3 Oktober 1943. Berbeda dengan Heiho,
PETA mengenal lima macam tingkat kepangkata, sebagai berikut ini.
*Komandan Batalion (Daidanco), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti
pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hokum.
*Komandan Kompi (Cudanco), dipilih dari kalangan yang telah bekerja, tetapi belum
mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru sekolah dan juru tulis.
*Komandan Peleton (Shodanco), dipilih dari kalangan pelajar-pelajar sekolah lanjutan
tingkat pertama atau sekolah lanjutan tingkat atas.
*Komandan Regu (Budanco) dan Komandan Pasukan Sukarela (Giyuhei), dipilih dari kalangan pemuda dari tingkatan Sekolah
Dasar.
Dalam
perkembangannya, ternyata banyak sekali anggota PETA di beberapa daidan (battalion) yang merasa kecewa
terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Kekecewaan tersebut menimbulkan
pemberontakan. Pemberontakan PETA di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang
dipimpin oleh Supriyadi dan Muradi.
e.
Fujinkai
Selain
pemuda, juga dilakukan pembentukan organisasi kaum wanita. Pada bulan Agustus
1943, dibentuklah Fujinkai (Himpunan
Wanita) yang usianya minimal adalah 15 tahun. Organisasi ini bertugas untuk
mengerahkan tenaga perempuan turut serta dalam memperkuat pertahanan dengan
cara mengumpulkan dana wajib. Dana wajib dapat berupa perhiasan, bahan makanan,
hewan ternak ataupun keperluan-keperluan lainnya yang digunakan untuk perang.
Dalam
rangka “menjepangkan” bangsa Indonesia, Jepang melakukan beberapa peraturan.
Dalam Undang-Undang No. 4 ditetapkan hanya bendera Jepang, Hinomaru, yang boleh dipasang pada hari-hari besar dan hanya lagu
kebangsaan Kimigayo yang boleh
diperdengarkan. Sejak tanggal 1 April 1942 ditetapkan harus menggunakan waktu
(jam) Jepang. Perbedaan waktu antara Tokyo dan Jawa adalah 90 menit. Kemudian
mulai tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa kalender Jepang yang bernama Sumera. Tahun 1942 kalender Masehi, sama
dengan tahun 2602 Sumera. Demikian
juga setiap tahun rakyat Indonesia diwajibkan untuk merayakan hari raya Tancōsetsu, yaitu hari lahirnya Kaisar
Hirohito.
Dalam
situasi perang, Jepang berkepentingan untuk membangun berbagai sarana, seperti
kubu-kubu pertahanan, benteng, jalan-jalan, dan lapangan udara. Untuk itu,
perlu tenaga kasar yang disebut romusha.
Bentuk kerja paksa seperti halnya pada masa pemerintahan
Hindia Belanda (Kerja Rodi) juga terjadi pada masa pendudukan bala
tentara Jepang, yang disebut dengan Romusha. Para tenaga kerja paksa ini
dipaksa sebagai tenaga pengangkut bahan tambang (batu bara) , pembuatan rel
kereta api serta mengangkut hasil hasil perkebunan.Tidak terhitung berapa ratus
ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban romusha. Untuk menarik
simpati bangsa Indonesia terhadap Romusha, Jepang menyebut romusha sebagai
“Pahlawan Pekerja/Prajurit Ekonomi”.
Para
romusha diperlakukan dengan sangat buruk. Mulai dari pagi buta hingga petang,
mereka dipaksa untuk melakukan pekerjaan kasar tanpa makanan dan perawatan.
Oleh karena itu, kondisi fisiknya menjadi sangat lemah sehingga banyak yang
menderita berbagai jenis penyakit, bahkan meninggal dunia di tempat kerjanya.
Belum lagi siksaan bagi yang melawan mandor-mandor Jepang, seperti cambukan,
pukulan-pukulan, dan bahkan tidak segan-segan tentara Jepang menembak para
pembangkang tersebut.’
Untuk
mendukung kekuatan dan kebutuhan perangnya, pemerintah Jepang mengambil
beberapa kebijakan ekonomi, antara lain.
I.)
Pengambilan Aset-Aset Pemerintah Hindia Belanda
Aset-aset
yang ditinggalkan oleh pemerintah colonial Belanda disita dan menjadi milik
pemerintah pendudukan Jepang, seperti perkebunan, bank-bank, pabrik-pabrik,
pertambangan, sarana telekomunikasi, dan perusahaan transportasi.
II.)
Kontrol terhadap Perkebunan dan Pertanian Rakyat
Tidak
semua tanaman perkebunan dan pertanian sesuai dengan kepentingan perang. Hanya
beberapa tanaman saja yang mendapat perhatian pemerintah pendudukan Jepang,
seperti karet dan kina, serta Jarak. Kopi, teh, dan tembakau hanya
dikategorikan sebagai tanaman kenikmatan dan kurang berguna bagi keperluan
perang sehingga perkebunan ketiga tanaman tersebut banyak digantikan dengan
tanaman penghasil bahan makanan dan tanaman jarak yang berguna sebagai pelumas
mesin pesawat tentara Jepang.
III.)
Kebijakan Moneter dan Perdagangan
Pemerintah
pendudukan Jepang menetapkan bahwa mata uang yang berlaku, tetap menggunakan
gulden atau rupiah Hindia Belanda. Tujuannya adalah agar harga barang-barang
tetap dapat dipertahankan seperti sebelum terjadinya perang.
Perdagangan
pada umumnya lumpuh dikarenakan menipisnya persediaan barang-barang di pasaran.
Barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat didistribusikan melalui penyalur yang
ditunjuk agar dapat dilakukan pengendalian harga.
IV.)
Sistem Ekonomi Perang
Dalam
situasi perang, setiap daerah harus menetapkan sistem ekonomi autarki, yaitu sistem ekonomi yang
mengharuskan setiap daerah berupaya memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, tanpa
mengandalkan bantuan dari daerah lain. Setiap daerah autarki mempunyai tugas
pokok memenuhi kebutuhan pokok sendiri untuk tetap bertahan dan mengusahakan
memproduksi barang-barang untuk keperluan perang.
Sources --->
*Buku Yudhistira, Sejarah, kelas XI Semester 1
*Wikipedia
Sources --->
*Buku Yudhistira, Sejarah, kelas XI Semester 1
*Wikipedia
bagus sekali
BalasHapus